Saturday, April 3, 2010

Pendapat saya tentang jalan-janan ke pantai selatan naik motor







Ini adalah sebuah kisah perjalanan saya dan teman-teman menyelusuri bagian selatan Jawa Barat yang indah....

Kami memulai perjalanan menuju Dayeuh Kolot dengan melalui jalan terusan Buah Batu, sayang, mungkin karena antuisas kami yang terlalu tinggi (bertiga menjelajahi dunia) kami nyasar dan berujung di Moh Toha. Itu kesalahan pertama, setelah bertanya dan kembali menemukan jalan, kami pun tiba di Dayeuh Kolot. Dayeuh Kolot sangatlah kotor karena banjir bandang yang sering terjadi. Debit air dari sungai entahlah yang mengalir di kota itu sangat tinggi hingga permukaan air hampit menyentuh punggung jembatan.

Kami pun melanjutkan perjalana hingga tiba di Banjaaran, sebuah kota yang sangat tidak jelas tujuan pendirianya. Tidak ada hal yang menarik dengan kota ini selain macet dan bau sampahnya. Pangalengan pun akhirnya kita gapai. Petualangan bermula dari sini. Dengan semangat yang berapi api kami melanjutkan perjalanan ke Cisewu, berbekal peta tidak berskala dan sok tau, kami akhirnya memasuki sebuah perkebunan teh yang sangat asri, pemandangan gunung pun menemani kami di kiri maupun kanan jalan hingga kami tersesat kembali.
kembali bertanya pada warga sekitar yang kurang membantu, kami menemukan jalan lagi. untuk berjaga-jaga kami bertanya pada tukang kebun yang sedang memtik teh "Pak jalan ini tembus ke Cisewu?" , "iya, tebih aa" kata tukang kebunya. Tebih (jauh dalam bahasa sunda) menjadi malapetaka bagi kami.

Jalan menjadi jelek, se jelek jalan jurang di bagian deket pom bensin tapi jalan itu berlanjut hingga 10 km dan parahnya, jalanya menanjak terus. Sempat sih, kami menemukan aspal, namun aspalnya tidak halus dan tidak bertahan lama, kami akhirnya kembali ke jalan jurang yang jelek itu. Tiba kami pada sebuah pos polisi di jalan cagak (persimpangan) "pak, ke cisewu lewat sini?" pak polisi yang baik itu (ber mobil ford Ranger) menjawab "iya, terus aja Pak, ikutin jalan ini, tapi hati hati jalanya ga terlalu bagus. Tapi sekarang udah ga putus kok". Ga putus?? maksudnya???

Maksud pak polisi yang baik itu adalah, kami melihat dengan mata sendiri. Anda bayangkan ke lemabang melewati Maribaya, atau ke lembang lewat vila istana bunga, sudah terbayang jalanya??, Bayangkan jalan sesempit itu, sepanjang 40km, dengan jurang yang sedalam lautan artik utara di sebelah kiri dan tebing setinggi monas disebelah kanan dan batu batu lepas sebesar lemari pakaian orang tua anda yang menunggu di dorong oleh kekuatan alam untuk menggelinding. Di tambah jalan yang tiba-tiba hilang sebagian akibat longsor. Anda bayangkan itu selama 40km. Jalan yang berbelok belok dan sangat pathetic dan membuat kami patah semagat. Cisewu terasa sangat jauh digapai. Patok jalan menjadi tanda penderitaan kita karena km demi km berjalan sangat lambat...

Lalu, tibalah kami di cisewu. Kota yang kami harap akan seperti banjaran, yang rame akan kehidupan yang menjadi sinar harapan kami namun..... Cisewu hanyalah sebuah kantor
(dengan mobil ranger) dan 4 apa 5 rumah warga. Itulah Cisewu. hhaaaaaaaaaaaaaaaaahh.. Usaha kami seakan sia sia dan kami telah berjalan selama 5 jam (dari jam 7 pagi). Perjalanan pun dilanjutkan dengan silat jumat di mesjid berbahasa sunda yang sama sekali tidak saya mengerti bahasanya dan denga jalan berkelok menanjak yang seakan tidak ada habisnya..

Lalu....
Yang kami tunggu-tunggu terlihat juga, walaupun jauh, tapi istana tempat tinggal Nyi Roro Kidul terlihat dengan jelas dari atas bukit. Hamparan biru laut yang memanjang dari kiri ke kanan sepanjang mata memandang membuat perjalanan kami yang sudah memakan waktu 7 jam terasa tidak sia-sia...

Akhirnya setelah kemabli tersesat lagi, kami pun beranjak ke pantai. Pantainya masih sangat perawan, tidak ada orang yang berkunjung kesana (maklum banyak karang). Namu pemandang
di mata 3 orang mahasiswa yang bermukim di hiruk pikuknya kota Bandung merupakan pemandangan yang tidak bisa di lukiskan dengan kata-kata. Namu sayang, karena kebodohan perjalanan kami.(ami menghabiskan waktu sangat lama di jalan dan hari sudah beranjak jam 2 siang) Kami pun hanya berfoto-foto dan duduk serta berbincang bincang sebentar (45 menit tepatnya) dan perjalanan pulang kami lanjutkan kembali.

Trauma dengan jalan yang kami tempuh menuju RancaBuaya, kami mengambil jalan pulang ke Arah Pamengpeuk.Jalanan aspal, namun tidak halus. Saya baru bisa menghargai jalanan aspal sebagai buah karya manusia yang terpenting. Jalanan aspal memungkinkan kami melaha km demi km dengan waktu tempuh yang lebih singat. Lalu kata "tebih aa" kembali menghantui pikiran saya. Di sebelah kiri jalan berdirilah sebuah patok yang secara angkuh menunjukan sesuatu yang membuat saya sedih. BDG 180KM. Tulisan ini membuat saya patah semagat, hari sudah mulai beranjak jam 3 dan kami masih terjebah di selatan Jawa Barat.

Dengan berat hati kami melintasi jalan dari pamengpeuk menuju Cikajang yang berjarak kurang lebih 55km namu terasanya berabad-abad, karena kami tak kunjung sampai. Badan pun sudah tidak mau berkompromi lagi, pegel di bagian bawah (pantat,paha, kaki dan alat kelamin) ditambah dengan matahari yang mulai berlari pulang menuju rumahnya dan jalanan yang(halus) namun berkelok kelok, membuat kami sedikit depresi dan sedih. Kami pun beristirahat di sebuah gubug di tengah hutan antara jalan Pamengpeuk Cikajang. Di seberang kami berdirilah sebuah patok, yang tetap membuat kami kecewa. Kami telah berjalan selama kurang lebih 1 1/2 jam namu patok tersebut masih bertuliskan BDG 120KM. Istirahat pun di sudahai dan pertukaran pengemudi serta muatan tas dilakukan.Kami bergegas kembali ada jalan yang dengan senang hati menyiksa kami.
Akhirnya 1 jam sebelum maghrib kami tiba di Cikajang, sebuah kota yang menyerupai Banjaran, dan sama sekali tidak menarik bagi kami. Garut.. Ahirnya peradaban. Kami melihat sebuah traffic light. Setelah sekian lama hanya melihat pohon dan petani dan kata tebih, kami melihat peradaban manusia. betapa senangnya kami, giraangnya kami untuk berhenti dan menikmati makan malam di warung sate di pinggir jalan. Bangku kayu tempat makan sate pun terasa sangat nyaman dibandingkan jok motor kami.

Setelah isoma (istirahat makan solat) perjalanan Garut-Leles-Kadungora-Cagak-Nagreg-Bandung kami tempuh dalam kegelapan malam. Bermodalkan nyali dan keinginan pulang serta ditemani bulan yang bersebunyi di balik awan serta kawan-kawan truck tronton FUSO dan bus Mios (yang super nya ga pernah ikutan ujian sim) kami pun dengan berani melanjutkan prjalanan pulang, bak tentara yang berhasil , pulang dari medan perang.

Kota Bandung, akhirnya di gapai dalam waktu 1 1/2 jam. Betapa seneng dan lega kami ketika kami melihat angkot jurusan Cicadas-Cibiru. Mungkin ini akan menjadi kali pertama dan terakhir dimana saya seneng kegirangan melihat daerah Panyileikan dan Gede Bage, daerah yang menurut saya berada di ujung dunia.

Usai lah perjalanan kita pada MTC dimana saya terjatuh terapar ke rumput-rumput tajam yang menusuk pantat. Perjalanan selama 12 jam melewati beberapa kabupaten dan menempuh 317km kami lakukan dalam sehari, 3 mahasiswa univesitas yang telah kehilangan akal.. Namum kami puas, ini merupakan sebuah pengalaman yang tak terlupakan dan tak terulangkan (karena kami sudah tua sekarang, hehehehe)

No comments:

Post a Comment